Halaman

Kamis, 07 Februari 2013

KISAH RELAWAN PMI KALTIM


Nyaris Tewas Diterjang Wedus Gembel

Minggu, 3 Februari 2013 - 09:32:29
|
Metropolis
|
Dibaca : 183 Kali

KISAH RELWAN PMI KALIMANTAN TIMUR 

ADALAH Mesdiono Matali Samad. Usianya baru genap 43 tahun pada 15 Januari 2013 lalu. Namun, lebih dari setengah umurnya ia habiskan menjadi relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Samarinda. Pria bertubuh subur ini bergabung menjadi relawan sejak 1989. Sebelum bergabung menjadi relawan hingga sekarang,  ia bekerja di sebuah perusahaan swasta selama dua tahun. “Saat itu, saya sangat bosan dengan rutinitas harian saat itu,” ucapnya. Di perusahaan tersebut, ia bekerja sejak pukul tujuh pagi hingga lima sore. Ia merasa hidupnya sebagai makhluk sosial seakan diambil. Kemudian seorang temannya mengajak bergabung menjadi relawan dan bertahan hingga sekarang.
“Menurut saya, menjadi relawan adalah sebuah panggilan jiwa,” ucap pria yang sekarang menjabat sebagai Kepala Markas PMI Provinsi Kalimantan Timur ini. Seiring perjalanannya sebagai relawan, ia pernah diterjunkan ke daerah bencana baik di Kalimantan Timur dan luar daerah. Sebut saja bencana gempa bumi diikuti tsunami di Banda Aceh pada 26 Desember 2004 lalu.
Ada pengalaman menarik, saat ia bertugas di provinsi yang dijuluki Serambi Makkah tersebut. Kala itu, sudah memasuki minggu ketiga ia di Aceh sejak menginjakkan kaki pada 31 Januari 2005. “Kami dan beberapa relawan lainnya harus mengantarkan logistik ke Meulaboh,” kenangnya. Meulaboh adalah ibu kota Kabupaten Aceh Barat. Kota ini terletak sekitar 175 km tenggara kota Banda Aceh dan Meulaboh adalah kawasan terparah saat bencana tersebut.
Iring-iringan kendaraan berangkat dari Banda Aceh sekira pukul 07.00 pagi. Awalnya perjalanan ke Meulaboh disuguhi pemandangan hutan dan sawah yang indah namun sepi. Namun, di pertengahan jalan konvoi yang membawa obat-obatan, makanan, serta peralatan kesehatan ini diadang oleh barisan senapan AK-47 yang disusun sedemikian rupa. Padahal pada saat itu kiri dan kanan jalan adalah hutan yang sunyi. “Saya selaku pimpinan rombongan, memutuskan turun dari mobil dan melihat keadaan sekitar diikuti oleh anggota rombongan,” jelasnya.
Tak kurang lima menit kemudian, seorang pria datang dalam hutan. Barulah ia sadar kalau pria itu adalah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Lalu, tak tahu dari mana rombongan ini telah diadang oleh puluhan anggota GAM lainnya.  “Mereka datang dari segala penjuru tanpa kami ketahui. Tiba-tiba saja ada,” ucapnya.
Pria yang berada di depan rombongan kemudian bertanya kepada Mesdiono perihal barang bawaan dan tujuan mereka. Kemudian pria itu juga mengutarakan tujuan mereka bahwa banyak warga di dalam hutan yang butuh bantuan. “Saya langsung mempersilakannya mengambil kebutuhan yang mereka perlukan,” ucapnya. Tak lama setelah mengambil semua yang mereka butuhkan, para anggota GAM tersebut langsung bubar tanpa jejak. Senapan AK-47 yang sebelumnya menghalangi jalan mereka sudah hilang entah ke mana.
Ia juga pernah nyaris menjadi korban wedus gembel atau awan panas pada bencana letusan Gunung Merapi, Jawa Tengah, pada 2006 silam. Awan panas yang disemburkan gunung berapi dengan aktivitas vulkanik yang tinggi ini sempat mengejarnya saat melakukan pemantauan lokasi di Desa Serumbung Kabupaten Kagelang,  Jawa Tengah. Kala itu ia dan relawan lainnya baru beberapa jam menapakkan kaki di desa yang jaraknya hanya 3,5 Kilometer dari puncak Merapi.
“Tiba-tiba terjadi getaran. Sebenarnya getaran yang kecil tapi ketika saya berbalik awan panas sudah meluncur dari arah puncak,” kenangnya. Sontak, suasana desa yang sebelumnya tenang berubah riuh oleh warga yang menyelamatkan diri. Tak memikirkan lagi wedus gembel yang mengejarnya. Yang ia pikirkan hanyalah berlari secepat-cepatnya sembari melihat kalau-kalau ada warga yang terjebak. Untunglah jalan yang ia pilih saat itu bukan merupakan kawasan aliran awan panas Merapi tadi. “Saat itu, saya merasa kematian cukup dekat menghampiri saja,” katanya.
Selain sebagai kepala Markas PMI Kaltim, ia juga masih sering turun ke lapangan. Seperti banjir yang terjadi di Samarinda baru-baru ini, ia masih ikut terjun ke daerah bencana. Saat media ini menanyakan bagaimana keluarga menerima pekerjaannya sebagai relawan yang harus terjun ke daerah bencana. “Istri dan anak-anak saya sudah maklum dengan pekerjaan saya sebagai relawan. Jadi mereka sudah cukup terbiasa,” pungkasnya. (*/fch/tom/k1)



0 komentar:

Posting Komentar